Minggu, 10 Maret 2013

Pria (Setengah Wanita) Yang Terjebak di Masa Lalu

Hari ini begitu melelahkan, tidak ada cerita indah yang bisa kuceritakan, semua kelabu.
Hari ini semua sedang tidak berpihak padaku, setelah cobaan yang berat sepanjang hari ini pun, saat kuputuskan untuk segera tidur, mimpiku pun tidak berpihak padaku, selalu tentangnya.

Awalnya cuma masalah kegalauanku, aku sedang merasa dunia mengerjaiku, mengucilkanku, berharap ada yg masih memihakku dan menenangkanku. Hal buruk terjadi berturut-turut dalam hidupku, seolah aku lahir untuk dibenci. Entah mengapa orang-orang sekitarku mudah sekali kesal padaku. Entah kenapa aku selalu menjadi objek penderita orang2 yg lebih berkuasa, oh ya, dan juga objek penderita para penjilat2 yg selalu cari aman dengan senyum palsunya. Intinya hanya satu, semua selalu berpihak pada yang lebih berkuasa, entah dia salah ataupun benar. Kalaupun yang berkuasa salah, semua masih menganggap dia benar dengan menyalahkan pihak lain yg lebih kecil dan lebih bisa ditekan.

Dengan harapan yang besar ingin kubagi cerita ini pada Adr88, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Dari kemarin-kemarin kutahan keinginan bertemu dengannya agar tidak mengganggu kesibukannya lagi. Hari ini akhirnya dia bersedia bertemu denganku, tujuan awalnya adalah menemaninya membeli HP.

Uang memang belum ditangannya, gajinya masih ditangan boss sekaligus sahabatnya, dijanjikan ditransfer secepatnya. Namun tunggu berganti tunggu, ia bilang belum ada kabar dari temannya, sementara siang telah beranjak sore. Aku yang tadinya berharap hari ini akan dapat menghibur diri dan meringankan bebanku kembali kecewa. Besok pagi sudah kuliah seperti biasa, mau kuapakan lagi moodku yang hancur ini.

Aku mungkin terlalu cerewet memaksanya segera berangkat dari rumah dan menjemputku, toh kupikir uang itu bisa diambil dari mesin mutakhir bernama ATM dimanapun berada. Tetapi melihat Adr88 kelihatan berat untuk berangkat, aku pesimis rencana jalan bersamanya akan jadi terlaksana. Kupikir kalaupun dia tak ada, toh aku bisa membuat rencana jalan sendiri. Mungkin dia juga sebenarnya tak berniat besar untuk bertemu denganku.

Kuutarakan rencana itu ke Adr88 yg mengaku akan berangkat, aku bilang aku akan keluar rumah dengan ataupun tanpa dia. Otakku benar-benar perlu didinginkan dan aku perlu hang out, dan mungkin dia salah menangkap itu sebagai aksi ngambekku. Dia minta aku menunggunya. Apa dia tidak lihat, seumur hidupku pekerjaanku hanyalah menunggunya, menunggu lulus wisuda, menunggu kesadaran diri untuk nggak merokok, menunggu dia datang, itu sudah biasa. Memang yg sejak tadi kulakukan apa?

Dia datang membawa motor bapaknya yang tampaknya tidak sehat. Aku baru menyadarinya di jalan, motor itu mengeluarkan getaran aneh dan suara "kretek-kretek" dari rantainya, setiap mengerem motor itu melonjak-lonjak seakan hendak mengusirku dari joknya. Jadilah selama perjalanan perasaanku tambah campur aduk, galau, takut, khawatir, kesal. Aku sarankan dia untuk mencari bengkel agar motornya segera diperbaiki demi keselamatan kami. Dia meresponnya dengan sinis, katanya sejak tadi ia sedang mencarinya, tapi aku tidak melihat usahanya untuk benar-benar "menuju" bengkel. Ada banyak bengkel di jalan yang kami lalui tadi, di sebelah BCP misalnya, tinggal belok kiri dan lurus sedikit, disitulah bengkel yg sering aku dan dia tuju jika rantai putus atau terjadi kerusakan lainnya (percayalah, itu pernah aku alami bersamanya. Makanya selalu "aku" yg khawatir dgn motornya, bukan dia.). Aku kesal, apa maunya anak ini, apa dia sebegitu ingin membunuhku? Ia terus memaksakan membawa motornya yg menkhawatirkan itu, perasaanku di belakang lebih ciut daripada menaiki jet coaster. Jika dibolehkan aku ingin sekalian memesan nisan di tukang nisan pinggir jalan yang kami lewati, untuk persiapan. Aku sudah bilang pada Adr88 bahwa aku butuh keluar untuk mencari hiburan, dan inikah hiburan yg dibawakannya? Great, aku hampir mati jantungan selama perjalanan. Motor penyakitan dan sikap sinisnya itu menambah buruk moodku.

Aku selama perjalanan bertanya-tanya, apa alasan yg membolehkannya bersikap sinis padaku? Aku pikir aku tidak terlalu menuntut saat menyuruhnya mencari bengkel, biasanya aku memang cerewet, tapi ini kan demi keamanan kami juga. Bahkan kubiarkan saja motor penyakitan itu melaju sampai lapangan di Bekasi Timur tanpa banyak komentar lagi. Kulihat sisa-sisa keramaian di lapangan sana, rupanya ada festival sebelumnya, tapi baru kami sadari festival itu telah usai.
Aku melirik Adr88 takjub, festival macam apa yang nilainya lebih penting dari nyawa 2 orang manusia di perjalanan yang membahayakan, ini gila. Dia membahayakan 2 nyawa diatas motor penyakitan itu dan lebih memilih membawa kami ke lapangan itu daripada ke bengkel2 yg bertebaran sepanjang jalan, logika macam apa itu?
Akhirnya dia menyerah pada kecerewetanku dan mengajak mencari oli (padahal aku menyuruhnya ke bengkel). Di sebelah lapangan itu ada yang menjual pelumas semprot, Adr 88 membelinya dan langsung menyemprotkannya ke rantai motornya, itu pun dengan lagak terpaksa. Meski sedikit menolong itu tidak menyelesaikan masalah, motornya tetap melonjak-lonjak setiap direm, meski bunyi "kretek-kretek" itu sudah tidak ada.

Dari awal memang aku tidak tahu tujuannya, ia yang mengajakku jalan, jadi aku bilang terserah dia mau kemana, toh aku tidak protes kemanapun dia membawa motornya berjalan. Tapi ia kembali menanggapinya sinis. Karena itu, untuk mencari aman agar tidak terus dibawa jalan dengan motor berbahaya ini, kuputuskan untuk mengajaknya ke Waroeng Steak yang lumayan dekat dari area sana, sekaligus membicarakan kekesalanku.

Sampai di restoran itu, setelah memesan makanan, dia menanyakan masalahku dengan nada tidak bersahabat. Aku tak dapat menahan tangis sejadi-jadinya. Orang yang paling kuharapkan mengerti situasiku dan menenangkanku malah bertingkah sebaliknya. Aku menangis, dan dia tidak sekalipun berusaha menenangkanku, hebat sekali. Aku hanya bisa berbicara via whatsapp di sela tangisku, sementara Adr 88 terlihat sibuk sendiri dengan kekesalannya, bahkan tangisanku tidak melembutkan hatinya.
Dia mempermasalahkan quote dari whatsappku, mengenai "dengan atau tanpa dia aku akan keluar rumah cari hiburan", itu yg dia bilang membuatnya khawatir, panik, dan kesal.  Dia bilang dia khawatir terjadi apa-apa padaku jika jalan-jalan sendiri. Dia menjelaskan dia bahkan hampir tertabrak truk demi menjemputku karena khawatir pada ucapanku itu. (Kalaupun dia tertabrak truk, kurasa bukan aku yg harus dipersalahkan. Dia memang tipe org yg tidak memperdulikan keselamatan, lihat saja wujud motor yang dibawanya.)
Mungkin akan lebih bagus jika ia menjelaskannya pelan-pelan padaku, tapi ia menceritakan semua itu dengan nada menyalahkanku dan tatapan penuh penghakiman, seolah hanya dia yang terluka disini.
Kemudian dia mendramatisasi dengan mengingat masa lalunya, luka-lukanya yang kelam selama bersama mantannya yang telah tiada. Ia bilang ia takut kehilangan lagi, tapi nada bicaranya menyakitkanku.

Ia sendiri yang bilang ia bukan seseorang yang suka membanding-bandingkan orang lain, karena ia sendiri bilang menyadari benar pahitnya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Tapi belakangan ini aku menyadari ia mulai membanding-bandingkanku dengan mantannya, tidak secara langsung. Apa yang terjadi padaku dia tinjau dengan hal-hal yg terjadi dengan mantannya, jalan ceritanya ia cocok-cocokkan, padahal aku orang yang berbeda. Dan lagi, aku masih disini, aku tidak sakit apa-apa dan kurasa aku tidak akan meninggal secepat itu.

Ia bilang ia khawatir dengan keselamatanku (setelah ngotot membawaku berkeliling dengan motor berbahaya itu? Ini hebat bukan?!?). Padahal ia lihat sendiri, fisikku ada disana, di depan matanya, baik-baik saja (kecuali hatiku yang hancur karena semua permasalahan yang semakin berkembang ini), bahkan rencanaku jalan sendirian (yg membuatnya khawatir) pun tidak terlaksana. Jadi pikirku apa lagi yg perlu dipermasalahkan?

Tapi dimatanya aku memiliki dosa besarr, dosa terbesarku adalah membuatnya khawatir (dan membuka traumanya mungkin?!?), itu terus yang dipermasalahkannya. Setelah menyadari fisikku baik-baik saja disini, lantas dia merasa berhak menghancurkan hatiku, apa gunanya kekhawatiran itu?!?

Yak selamat pada Adr88, fisikku baik-baik saja, tapi hatiku telah sukses kamu hancurkan. Apa kamu puas sekarang?

Jadi seharian tadi semua tentangnya, tidak lagi tentangku, bukan lagi bicara tentang masalahku. Toh kalaupun aku menceritakan masalahku ia akan menilai masalah itu tidak lebih penting daripada kekhawatirannya sendiri.

Lalu sebagai penutup, ia mendramatisasinya dengan bilang "Ya udah kalau nggak mau dikhawatirin. Aku sih bisa nggak khawatir lagi sama kamu. Dulu aja nggak khawatir-khawatir banget, eh taunya udah dikafanin.", bagus sekali, mirip telenovella, tapi kali ini Adr88 berperan sebagai wanitanya.

Dasar pria berhati wanita. Selama ini aku masih mentolerir hal ini, karena kupikir itu akan membuatnya lbh sensitif dan lebih mengerti aku. Tapi semakin kesini kewanitaannya semakin parah, dia lebih sensian daripadaku, bahkan kami sering berebut hak prerogatif wanita untuk ngambek dan diayomi. Ini semakin parah.

Balik lagi ke masalahku. Ah aku bahkan sudah hampir melupakan kekalutanku sebelumnya, berganti dengan masalah konyol ini. Aku kecewa melihatnya begini, sangat kecewa.

Pria setengah wanita itu masih terjebak di masa lalu.
Kalau boleh kuberi kata mutiara.
"Kamu boleh terus melihat ke belakangmu, tapi bisa saja karena itu kamu kehilangan apa yang ada di depanmu."

Yang tertinggal di ingatanku sekarang adalah :
Laju motor yang dibawanya kasar, dengan mesin yang terbatuk-batuk pula.
Nada sinisnya saat bicara denganku.
Penghakimannya saat kami di restoran, menginterogasiku seolah aku kriminal.
Sindirannya yang mendramatisir keadaan dan seringkali tidak berkaitan dan tidak menjelaskan apapun.
Tingkah melankolisnya yang dibuat-buat.
Kekerasan sikapnya bahkan tidak melunak meski melihatku menangis, ia tetap menggertak galak seperti anjing penjaga. Dengan gaya galak begitu ia memintaku menceritakan permasalahanku, bagaimana bisa?!?
Semua pengulangan kata "khawatir" yang ditekankannya.

Aku tahu dia tidak benar-benar khawatir. Ada beberapa fakta yang mendukung argumenku itu :
1. Kalau ia khawatir dengan keselamatanku, pasti ia memperbaiki motornya terlebih dahulu. Setidaknya ia tidak akan membiarkanku menaiki motor yang berbahaya bagi keselamatan.
2. Kalau ia mengkhawatirkanku, dan kekhawatiran itu tidak terjadi. Harusnya ia bersyukur, menatapku dengan penuh rasa lega, bukan dengan tatapan kesal penuh kebencian seperti tadi.
3. Kalau ia mengkhawatirkanku, saat menemukan fisikku baik-baik saja, ia akan menjagaku dan menjelaskan dengan baik2. Bukannya malah berganti menghancurkan hatiku.
4. Kalau ia mengkhawatirkanku, dan benar-benar mengutamakan "keadaanku". Ia akan mengesampingkan masalah "perasaannya" dan lebih mengutamakan masalah "perasaanku". Bukannya malah menghancurkan perasaanku dengan dalil telah membuat perasaannya khawatir. (Aku merasa perasaan khawatirnya lebih penting baginya bahkan daripada keadaan diriku sendiri)