Kamis, 10 November 2011

Demi kamu

Aku mulai depresi menghadapi tingkah kekanakannya.
2 tahun telat lulus bukan hal yang wajar, cukup bisa dikategorikan kemalasan akut. Itu adalah kristalisasi dr kemalasannya sebelum2nya, banyak mata kuliah dengan nilai rendah, akibatnya begitu banyak UM yg harus dijalani sbg kesempatan kedua.
Bukan salahku kan kalau dulu dia gagal? Dia yg "menerima konsekuensi perbuatannya itu", dan kini aku harus ikut pusing.

Aku cuma ingin dia latihan bertanggung jawab pada kewajibannya. Kalau ia belum bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri, bagaimana dia bisa bertanggung jawab padaku nanti? Dan tanggung jawab itu juga kunci yg bisa meloloskannya dalam seleksi orang tuaku (bukan sekedar masalah gengsi), dan ia tidak sadar akan hal itu.

Tanggung jawab memperjuangkan kuliahnya, cuma itu yg kuminta untuk menunjukkan keseriusannya padaku, bukan menyebrangi samudra atau mendaki gunung Himalaya (hallah...). Tapi itupun masih belum disadarinya sepenuh hati, padahal itu juga bukan demi keuntunganku, tp demi masa depannya sendiri. Dikiranya aku, orangtuanya, dan semua pihak yg menuntutnya untk cepat lulus cuma pihak penekan yg terus menginjaknya, yg seenaknya merendahkannya, dan tidak dpt mengerti perasaannya.
Padahal kami pun menuntut krn kami peduli, krn kami khawatir akan masa depannya (kalo kami tdk peduli, untk apa kami ikut pusing soal kesulitannya? Terutama untukku, kenapa tdk kutinggalkan dia dan kucari saja cowok lain yg jauh lebih bertanggung jawab dan berhasil?), bukan krn kami  "butuh", ia yg butuh semua itu. Lagipula bukan cuma ia yg merasakan, kami juga 'terpaksa' harus merasakan apa yg ia rasakan, rasa khawatir atas masa depan, kepanikan, itu pula yg memaksa kami untuk mencambuknya lebih keras agar ia bisa lebih maju.


Ia tidak tahu, dibalik kasarnya ucapan dan seramnya seringai taringku di depannya...di belakangnya aku sering berdoa, menangis...berharap dengan sangat meminta kepada yg maha pemberi keajaiban, semoga orang yang kucintai bs segera lulus dgn baik, dan "dihilangkan semua penyakit kekanakannya itu". Semua demi kebaikan dia(bukan atas dasar gengsiku yg terlalu muluk seperti yg ia tuduhkan).

Ia kira kami marah karena meremehkannya...
Ia kira kami marah karena tdk memahami perasaannya...
Ia kira cuma ia sendiri yg merasakan perihnya, dan kami tertawa diatas penderitaannya...
Padahal bagaimana bisa kita bahagia jika org yg kita cintai didera kesulitan? Itu yg ia tidak mengerti.
Biarkan aku yg mewakili perasaan orang tuanya disini. Krn kami semua sama, sama2 menanti org yg kami sayangi selesai berlarut2 dlm kesulitannya, dan yg paling menyedihkan kami tdk bs membantu apa2 selain dorongan. Bahkan kadang dorongan pun tdk begitu berefek pada kemajuannya hingga kami harus sedikit menjatuhkan (aka ngejorokin). Sakit, pasti, tapi kami harap dengan sakit itu ia bisa bangkit dari kelumpuhannya selama ini, kelumpuhan semangat dan usahanya.

Aku sadar selama ini aku egois, terlalu mementingkan imageku dan lantas memanjakannya. Karena aku tidak mau dianggap jd "pacar yg galak", aku segan memarahinya. Karena aku tidak mau dianggap jd "pacar yg cerewet" aku malas menasihatinya. Karena aku "malas bertengkar", aku menghindari konfrontasi dengannya. Aku selalu cari aman dan membiarkannya melakukan semua seperti apa yg dia inginkan, hingga akhirnya keadaan itu hanya membuatnya terlena, dan memperburuk situasinya yg terlanjur termanja. Setahun pacaran tidak ada perubahan yg signifikan atas kegagalan kuliahnya, kurang terlihat itikad baiknya untuk berusaha. Sesekali kunasihati, tp hanya dianggapnya angin lalu, atau malah dibalikkan padaku seolah aku tidak pantas menasihatinya. Dan setahun itu pula, kuanggap sebagai kegagalanku yg paling menyakitkan. Keberadaanku tidak cukup berarti untuk menariknya dr jurang kehancuran, itu terasa menyakitkan. Aku hanya bisa menuruti perkataannya dan melihatnya semakin larut berkubang pada kemalasannya, dan fatal akibatnya.

Apa sih arti nasihat seorang cewek yg jauh lebih muda dan lbh manja darinya trhdp cowoknya yg lebih tua dan berpengalaman? Yah, itulah rapuhnya pendapat cewek, kami dianggap berharga hanya jika kami menghasilkan kebahagiaan. Pendapat seorang cewek tidak terlalu dibutuhkan, krn sekalinya kami mengeluarkan pendapat dan , mereka akan menuduh kami cerewet.

Kini aku terjaga dari kepengecutanku. Aku sudah tidak mau peduli lagi akan anggapan dia padaku, demi dia. Kalau memang aku harus jadi pacar yang galak, cerewet, kejam, ataupun bahkan harus dibenci aku rela...asal itu bisa membangun pribadinya dan mendorongnya untuk berlari maju (bukan ngesot seperti yg selama ini ia lakukan.). Aku rela menyakiti perasaannya jika itu bisa membuatnya membara dan berlari lebih kencang, walau rasanya seperti menyakiti diriku sendiri (Ia pikir aku dengan senang hati menyakitinya...cewek gila mana yg bisa senang jika org yg ia cintai terluka? Tahukah ia aku terpaksa meremas hatiku dan menjadi raja tega tp memendam air mataku dibelakangnya?!?!). Tapi bahkan aku rela tersakiti, imej maupun perasaanku, hanya demi melihatnya sukses dan bahagia di masa depannya.
Ini memang fenomena paradoks yg unik. Ternyata banyak fenomena paradoks yg kita alami di dunia ini.

Justru aku JAHAT jika aku terus membaikinya, bermanis2 padanya, memanjakannya dalam situasi yg nyaman ini, seolah semua akan baik2 saja. Aku harus membuatnya terus PANIK, terus membuatnya FRUSTASI, untuk mengingatkan bahwa ini bukan hal yg main2, situasinya sudah mendesak, dan tidak ada waktu lagi untuk menunda2, itu kenyataannya. Aku harus terus membangkitkan alarm paniknya, walau itu akan membuatnya terus tidak nyaman, tp itu akan membuat ia terus bergerak dan bergerak untuk maju.

Mungkin ini akan sering menimbulkan konflik di hari2 kami, tapi itulah konsekuensi yg telah aku ambil. Bahkan aku telah mengambil konsekuensi berat untuk bersaing dengannya soal kesuksesan kuliah, aku sendiri  tau ini sangat beresiko untukku. Bersaing dengan org yg aku cintai sebagai lawan bukan hal yg menyenangkan tapi biarlah, asal itu bisa membuatnya semangat untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.

Percayalah, saat ia berkumpul reuni dengan teman2 seangkatannya yg sudah mulai menata masa depan cerah mereka...aku tahu ia tertekan dan minder, walau ia terus menutupinya dengan ocehan ngelesnya itu. Dan asal kamu tahu, disitu aku berjanji akan melakukan cara apapun untuk membuat kamu menyusul teman2 kamu itu.

Maka kalaupun suatu hari nanti ia bilang membenciku, kecewa padaku, atau ingin meninggalkanku, aku terpaksa harus siap. Dan cukuplah berita wisudanya jd hiburan untukku, krn cuma itu prioritasku sekarang.

Pendidikan tinggi dan gelar...mungkin itu hal yg klise baginya, tapi untukku itu modal hidup dan modal kesuksesan. Bukan karena aku terpaku pd nilai2 di ijasah, pendidikan menurutku lebih dari itu. Karena pendidikan adalah orientasi hidupku. Tahukah kenapa? Karena ilmu selalu bisa menjaga (bahkan menghasilkan) harta, tapi harta tidak bs menjaga ilmu, bahkan kita yg harus menjaga harta.

Anggaplah kalian berkelit, org pintar bukan harus dr golongan akademisi perguruan tinggi dan mendapat ijazah. Bisa saja org pintar tanpa harus kuliah dan bergelar, silakan saja berpendapat begitu. Tapi bandingkanlah cara bertutur mereka, ada yg beda. Krn memang ilmu menyebar dalam kehidupan sehari2, tapi khusus untuk mahasiswa, kampus itu sendiri itu adalah gudang ilmu mereka. Jika dibandingkan, org2 cerdas yg otodidak hanya bisa mengumpulkan remah2 ilmu yg memencar di seantero penjuru kehidupan, sedangkan para mahasiswa datang langsung ke gudang tempat dimana ilmu berkumpul, bahkan ilmu yg menghampiri mereka dgn perantara dosen. Mereka juga belajar bertutur selayaknya kaum berintelektualitas, belajar memenuhi aturan dan standar yg jelas, belajar berkompetisi dan berkreasi ditengah keterbatasan waktu. Itu cukup untk menjelaskan keunggulan akademisi yg pernah merasakan indahnya bangku kuliah dibanding org yg belajar otodidak.
Dan kutekankan sekali lagi, aku org yg berorientasi pada pendidikan, kesuksesan di mataku bukan hanya perkara harta, jabatan, dan nama besar, tapi kesuksesan yg paling utama untukku adalah sehebat apa kecerdasannya, krn ilmu adalah bekal untk kesuksesan dunia akhirat. Jadi...jangan kira aku mau dgn org yg tdk memiliki bekal sukses (yaitu ilmu).

Aku bukan cewek yg muluk kok, aku nggak cari cowok yg sukses, tp aku cari cowok yg punya modal sukses, yaitu ilmu, keuletan dan kegigihan. Apa aku matre, high standard? Nggak, itu namanya realistis.

Jadi, apa tuntutanku ini berlebihan?

Tolong jangan sia2kan doaku, krn sesering apapun aku berdoa dan sebanyak apapun air mata yg aku teteskan untukmu, cuma KAMU yg bisa mengakhiri penantian ini, akan berhasil dengan baik atau buruk, cuma KAMU yg menentukan.